Palagan Bekasi yang Bikin Tentara Belanda Alami Sindrom Bekasi

Bekasi menjadi palagan terdepan pertempuran dengan Belanda meskipun pusat komando ada di Karawang. Ketika itu, tapal batas antara tentara Belanda dengan tentara nasional ada di Kali Cakung yang membentang hingga Cilincing serta Kali Buaran yang memanjang sampai Cileungsi. Foto: Hops.ID
Bekasi menjadi palagan terdepan pertempuran dengan Belanda meskipun pusat komando ada di Karawang. Ketika itu, tapal batas antara tentara Belanda dengan tentara nasional ada di Kali Cakung yang membentang hingga Cilincing serta Kali Buaran yang memanjang sampai Cileungsi. Foto: Hops.ID

BekasiRaya.co – Banyak orang sudah tahu kisah heroik Arek-Arek Suroboyo yang berjuang menghadapi tantara Sekutu dalam pertempuran 10 November 1945 dan kini diabadikan serta diperingati sebagai Hari Pahlawan di tanah air.

Namun tak banyak yang tahu bahwa Bekasi juga memiliki kisah heroik yang sama dengan Kota Surabaya. Bekasi disebut Bumi Patriot, memiliki lambang lima batang bambu runcing (lambang Pemerintah Kota Bekasi) dan sebuah golok teracung ke atas (lambang Pemerintah Kabupaten Bekasi), hal ini tentu memiliki alasan yang kuat.

Selepas Indonesia mendeklarasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Belanda berusaha kembali menguasai bumi Nusantara dengan membonceng pasukan Sekutu. Selain melakukan aksi diplomasi, Belanda juga melakukan agresi militer dengan bantuan pasukan Sekutu.

Sejarawan Bekasi, Ali Anwar, menceritakan bagaimana Bekasi menjadi titik krusial pertempuran Indonesia melawan kembalinya kolonialisme Belanda pascaproklamasi. Bekasi menjadi benteng yang sulit ditembus serta palagan atau medan pertempuran yang membuat nyali tantara Belanda ciut.

Dinukil dari buku Sejarah Singkat Kabupaten Bekasi (2019) karangannya, Ali menyatakan bahwa sulitnya menundukkan Bekasi, bahkan membuatnya seolah-olah neraka bagi para prajurit Belanda. Ali mengklaim, ada istilah “sindrom Bekasi” pada zaman itu ketika para tentara Belanda pura-pura sakit agar tak dikirim berperang ke Bekasi. Mereka ngeri dengan tingkat militansi para jawara dan tentaranya.

“Para pejuang selalu mengatakan, Bekasi yang paling sulit ditembus. Belanda untuk menembus Bekasi dengan semua daya dan upaya, termasuk militernya yang paling kuat. Itu masih agak sulit menembus Bekasi,” kata Ali berdasarkan kesaksian para pejuang yang ia temui.

Pejuang Bekasi, sebut Ali, tak hanya sibuk bertahan. Mereka, bersama para tentara, kerap bergerilya melancarkan serangan sporadis terhadap penjajah. Apalagi, warga Bekasi dikenal sebagai kampungnya para jawara. Rakyat melawan dengan senjata apa pun, namun utamanya golok. Senjata yang telah dipakai saban hari oleh orang Bekasi.