Delapan Jago Dihukum Gantung di Alun-alun Bekasi

foto: KITLV
foto: KITLV

BekasiRaya.co – Bekasi pada masa lampau merupakan daerah pertanian yang sangat subur. Tak terkecuali wilayah Tambun, yang pada tahun 1868 merupakan kawasan tanah particuliere landeijen (perkebunan swasta). Sayangnya lahan yang luas itu dikuasai oleh para tuan tanah.

Para petani Tambun malah mengalami tindakan sewenang-wenang dari para tuan tanah itu. Harta mereka dirampas dan dianggap sebagai pengganti pajak yang tidak sanggup mereka bayar.  

Menghadapi kenyataan itu seorang petani asal Cirebon, bernama Bapak Rama, merasa geram. Ia lalu mengatakan kepada para petani lain bahwa tanah-tanah yang terhampar antara Citarum dan Cisadane sejatinya milik penduduk pribumi, bukan tuan tanah.

Untuk melegitimasi pendapatnya itu Bapak Rama dan beberapa petani pergi ke Solo untuk menemui salah seorang raja yang mengetahui perihal status kepemilikan tanah tersebut.

Sepulangnya dari Solo, Bapak Rama meyakinkan para petani di Bekasi, Bogor dan sekitarnya akan kebenaran tersebut. Ia lalu membagi-bagikan lahan kepada para petani pendukungnya.

Bapak Rama kemudian diangkat menjadi pemimpin para petani itu dan diberi gelar Pangeran Alibashah. Bapak Rama dan para pendukungnya itu bukan petani biasa, tetapi mereka sejatinya adalah para jago silat, sehingga tidak gentar untuk berjuang memperoleh hak mereka.

Suatu hari di bulan Maret Bapak Rama memutuskan untuk melakukan aksi perebutan tanah-tanah partikelir yang dikuasai para tuan tanah. Diputuskan bahwa perlawanan itu akan dilakukan pada tanggal 20 bulan Haji atau 3 April 1869. Menurut Bapak Rama, tanggal itu bertepatan dengan peristiwa gerhana bulan dan diyakini Belanda tidak akan mampu melihat pergerakan mereka.

Sayang rencana itu keburu tercium oleh Belanda dan Bapak Rama serta para petani pengikutnya berhasil ditangkap di hari berikutnya. Bapak Rama kemudian berhasil lolos dan kembali merencanakan aksi perlawanan pada tanggal 5 April dan hanya fokus di daerah Tambun.

Benar saja, pada 5 April terjadilah perlawanan yang dilakukan para petani yang telah lama tinggal di Bekasi, di antaranya Bapak Rama, Arpan, Jungkat Bapak Nata, Bapak Selan, Dris, Adiarsa, Bapak Delang, Raden Mustafa, Manan Bapak Basirun, Bapak Tunda, Raden Sipat alias Arsain, Piun, Bungsu, Bapak Basirun, Bapak Djiba, Bapak Kollet, Aleng, Budin, dan Simin.

Pada masa itu menjadi kebiasaan orang tua dipanggil sesuai nama anaknya, jadilah sebutan Bapak Rama, Bapak Selan, Bapak Delang, dan lainnya.

Dalam gejolak sosial tersebut menewaskan asisten residen Meester Cornelis C.E. Kuijper, seorang dokter Jawa, dan tujuh orang lainnya.  

Bapak Rama dan para pengikutnya berhasil ditangkap pada 17 Juni dan disidangkan pada 29 September 1869. Keputusannya, 29 orang dijatuhi hukuman mati dan 19 orang dihukum kerja paksa selama 15 tahun. Bapak Rama tidak sempat disidang, karena meninggal di tahanan menjelang persidangan.

Delapan orang yang dianggap membunuh asisten residen, dokter, dan tujuh orang lainnya dihukum gantung hampir setahun kemudian. Tepat pada 24 Agustus 1870 hukuman gantung itu dilaksanakan di Alun-alun Bekasi.  Alun-alun tersebut  saat ini difungsikan sebagai taman kota atau lapangan rumput di Jalan Veteran, Bekasi Selatan.

Para jago yang dihukum gantung tersebut oleh pemerintah kolonial Belanda dijuluki ‘Achts Tamboenmoerdenaars’ atau Delapan Jagal dari Tambun. (rin)